JPIC SVD Ruteng Desak Penghentian Mobilisasi Aparat dan Hukum Pelaku Kekerasan terhadap Warga dan Jurnalis di Poco Leok

MEDIA GENDANG SUMBA,COM.,Rencana perluasan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu di wilayah Poco Leok kembali memicu kontroversi di tengah masyarakat.

Proyek ini menuai penolakan dari mayoritas warga lokal yang khawatir terhadap dampak lingkungan serta ancaman terhadap kelangsungan hidup mereka.

Sejumlah warga menyoroti dampak buruk proyek serupa di tempat lain, seperti di Sorik Merapi dan Mataloko, yang dinilai menimbulkan kerusakan lingkungan dan ancaman bagi keselamatan penduduk.

Masyarakat adat Poco Leok, yang terdiri dari 14 gendang atau kelompok adat, menegaskan penolakan mereka terhadap proyek ini. Dari 14 gendang, 10 gendang secara resmi dan tertulis menolak rencana tersebut.

Penolakan ini melibatkan 369 keluarga, yang mencakup 1.632 jiwa, yang merasa bahwa kehadiran proyek tersebut akan merampas ruang hidup mereka, termasuk tanah adat, kebun mata pencaharian, dan sumber air. Selain itu, warga juga khawatir bahwa proyek tersebut akan menghancurkan pusat kehidupan adat mereka.

Sejak awal, proses investasi proyek PLTP Ulumbu ini dinilai melanggar berbagai aturan hukum dan hak asasi manusia, baik yang diatur dalam hukum nasional maupun ketentuan internasional. Warga mengklaim bahwa mereka tidak pernah dilibatkan dalam konsultasi yang berarti, dan keputusan mengenai perluasan PLTP ini dibuat tanpa persetujuan mereka.

Situasi semakin memanas sejak tahun 2022 ketika pihak PLN mulai mengintensifkan upaya realisasi proyek dengan melibatkan aparat keamanan.

Menurut warga, PLN menggunakan personel kepolisian, TNI, Satpol PP, dan bahkan diduga preman bayaran untuk mengintimidasi masyarakat yang menolak proyek ini. Aksi intimidasi tersebut mencakup kekerasan fisik dan psikologis yang terus berlanjut.

Puncaknya terjadi pada 1-2 Oktober 2024, ketika aparat gabungan dari Polres Manggarai, TNI, dan Satpol PP dikerahkan untuk membuka akses jalan bagi proyek geothermal yang selama ini ditolak oleh warga adat Poco Leok.

Menurut keterangan dari beberapa saksi di lapangan, aparat memaksa warga yang mencoba menghadang pembukaan jalan tersebut. Beberapa warga mengalami kekerasan fisik, dipukul, dan didorong oleh aparat keamanan.

Selain kekerasan fisik, warga juga tidak diperbolehkan mendokumentasikan kejadian tersebut. Jurnalis yang hadir di lokasi melaporkan bahwa mereka dilarang merekam tindakan represif aparat.

Bahkan, seorang jurnalis dari Floresa ditangkap dan disekap di dalam mobil polisi. Jurnalis tersebut diperlakukan dengan kasar, diborgol, dan barang-barangnya dirampas.

Aksi represif ini tidak hanya menimbulkan kerugian fisik, tetapi juga trauma mendalam bagi warga dan jurnalis yang menjadi korban.

Salah satu warga yang menjadi korban kekerasan, Ponsianus Lewang, harus dilarikan ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Mben Boi, Ruteng, karena mengalami cedera berat.

Justice, Peace, and Integrity of Creation (JPIC) SVD Ruteng mengecam keras tindakan represif yang dilakukan aparat terhadap warga dan jurnalis di Poco Leok.

Dalam pernyataannya, Koordinator JPIC, Pater Simon Suban Tukan, SVD, menyatakan bahwa tindakan tersebut merupakan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia (HAM) dan kebebasan pers. Mereka menilai bahwa kekerasan yang dilakukan oleh aparat merupakan bentuk pembiaran dari pemerintah setempat.

JPIC juga mendesak agar pihak kepolisian dan TNI segera menghentikan mobilisasi aparat keamanan di Poco Leok.

Selain itu, mereka meminta Kapolri dan Panglima TNI untuk melakukan investigasi mendalam terhadap tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan di lapangan. Jika terbukti bersalah, mereka mendesak agar oknum aparat yang terlibat diberikan sanksi yang tegas.

Selain itu, JPIC juga meminta agar Kapolres Manggarai dan Dandim Manggarai diperiksa atas dugaan keterlibatan dalam aksi kekerasan ini.

JPICJPIC SVD menilai bahwa aparat keamanan seharusnya menjadi pelindung masyarakat, bukan menjadi ancaman bagi warga yang memperjuangkan hak-hak mereka.

JPIC SVD juga menyerukan kepada pemerintah daerah untuk segera mencabut keputusan Bupati Manggarai yang menetapkan wilayah Poco Leok sebagai lokasi perluasan PLTP Ulumbu.

Menurut JPIC SVD, proyek pembangunan besar seperti PLTP harus mendapatkan persetujuan bebas dari warga yang terdampak langsung. Karena, risiko dari proyek ini akan ditanggung oleh warga lokal, bukan oleh pihak-pihak di luar Poco Leok.

“Kami juga mendesak Pemkab Manggarai untuk mencabut Keputusan Bupati yang mentapkan lokasi di ruang hidup warga menjadi area perluasan PLTP Ulumbu. Bagaimanapun pembangunan mega proyek seperti PLTP ini harus mendapat persetujuan bebas dari warga di mana proyek itu dikembangkan. Karena resiko pembangunan akan ditanggung oleh warga Pocoleok di mana proyek itu dibangun bukan warga yang tinggal diluar Pocoleok.” kata Pater Simon selaku korordinator JPIC SVD Ruteng dalam rilis yang diterima media ini.

Dalam pernyataan akhirnya, JPIC SVD Ruteng juga meminta PT PLN untuk menghentikan penggunaan aparat keamanan dalam proyek ini, terutama yang cenderung represif dan intimidatif.

Mereka menyoroti bahwa proyek PLTP Ulumbu saat ini sedang dievaluasi oleh pihak Bank KfW, lembaga yang menjadi salah satu sumber pendanaan utama proyek ini. Jika kekerasan terhadap warga terus berlanjut, hal ini dapat mempengaruhi keputusan pendanaan proyek tersebut.(mjp)

JPIC SVD Ruteng Desak Penghentian Mobilisasi Aparat dan Hukum Pelaku Kekerasan terhadap Warga dan Jurnalis di Poco Leok MEDIA GENDANG SUMBA,COM.,Rencana perluasan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu di wilayah Poco Leok kembali memicu kontroversi di tengah masyarakat. Proyek ini menuai penolakan dari mayoritas warga lokal yang khawatir terhadap dampak lingkungan serta ancaman terhadap kelangsungan hidup mereka. Sejumlah warga menyoroti dampak buruk proyek serupa di tempat lain, seperti di Sorik Merapi dan Mataloko, yang dinilai menimbulkan kerusakan lingkungan dan ancaman bagi keselamatan penduduk. Masyarakat adat Poco Leok, yang terdiri dari 14 gendang atau kelompok adat, menegaskan penolakan mereka terhadap proyek ini. Dari 14 gendang, 10 gendang secara resmi dan tertulis menolak rencana tersebut. Penolakan ini melibatkan 369 keluarga, yang mencakup 1.632 jiwa, yang merasa bahwa kehadiran proyek tersebut akan merampas ruang hidup mereka, termasuk tanah adat, kebun mata pencaharian, dan sumber air. Selain itu, warga juga khawatir bahwa proyek tersebut akan menghancurkan pusat kehidupan adat mereka. Sejak awal, proses investasi proyek PLTP Ulumbu ini dinilai melanggar berbagai aturan hukum dan hak asasi manusia, baik yang diatur dalam hukum nasional maupun ketentuan internasional. Warga mengklaim bahwa mereka tidak pernah dilibatkan dalam konsultasi yang berarti, dan keputusan mengenai perluasan PLTP ini dibuat tanpa persetujuan mereka. Situasi semakin memanas sejak tahun 2022 ketika pihak PLN mulai mengintensifkan upaya realisasi proyek dengan melibatkan aparat keamanan. Menurut warga, PLN menggunakan personel kepolisian, TNI, Satpol PP, dan bahkan diduga preman bayaran untuk mengintimidasi masyarakat yang menolak proyek ini. Aksi intimidasi tersebut mencakup kekerasan fisik dan psikologis yang terus berlanjut. Puncaknya terjadi pada 1-2 Oktober 2024, ketika aparat gabungan dari Polres Manggarai, TNI, dan Satpol PP dikerahkan untuk membuka akses jalan bagi proyek geothermal yang selama ini ditolak oleh warga adat Poco Leok. Menurut keterangan dari beberapa saksi di lapangan, aparat memaksa warga yang mencoba menghadang pembukaan jalan tersebut. Beberapa warga mengalami kekerasan fisik, dipukul, dan didorong oleh aparat keamanan. Selain kekerasan fisik, warga juga tidak diperbolehkan mendokumentasikan kejadian tersebut. Jurnalis yang hadir di lokasi melaporkan bahwa mereka dilarang merekam tindakan represif aparat. Bahkan, seorang jurnalis dari Floresa ditangkap dan disekap di dalam mobil polisi. Jurnalis tersebut diperlakukan dengan kasar, diborgol, dan barang-barangnya dirampas. Aksi represif ini tidak hanya menimbulkan kerugian fisik, tetapi juga trauma mendalam bagi warga dan jurnalis yang menjadi korban. Salah satu warga yang menjadi korban kekerasan, Ponsianus Lewang, harus dilarikan ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Mben Boi, Ruteng, karena mengalami cedera berat. Justice, Peace, and Integrity of Creation (JPIC) SVD Ruteng mengecam keras tindakan represif yang dilakukan aparat terhadap warga dan jurnalis di Poco Leok. Dalam pernyataannya, Koordinator JPIC, Pater Simon Suban Tukan, SVD, menyatakan bahwa tindakan tersebut merupakan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia (HAM) dan kebebasan pers. Mereka menilai bahwa kekerasan yang dilakukan oleh aparat merupakan bentuk pembiaran dari pemerintah setempat. JPIC juga mendesak agar pihak kepolisian dan TNI segera menghentikan mobilisasi aparat keamanan di Poco Leok. Selain itu, mereka meminta Kapolri dan Panglima TNI untuk melakukan investigasi mendalam terhadap tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan di lapangan. Jika terbukti bersalah, mereka mendesak agar oknum aparat yang terlibat diberikan sanksi yang tegas. Selain itu, JPIC juga meminta agar Kapolres Manggarai dan Dandim Manggarai diperiksa atas dugaan keterlibatan dalam aksi kekerasan ini. JPICJPIC SVD menilai bahwa aparat keamanan seharusnya menjadi pelindung masyarakat, bukan menjadi ancaman bagi warga yang memperjuangkan hak-hak mereka. JPIC SVD juga menyerukan kepada pemerintah daerah untuk segera mencabut keputusan Bupati Manggarai yang menetapkan wilayah Poco Leok sebagai lokasi perluasan PLTP Ulumbu. Menurut JPIC SVD, proyek pembangunan besar seperti PLTP harus mendapatkan persetujuan bebas dari warga yang terdampak langsung. Karena, risiko dari proyek ini akan ditanggung oleh warga lokal, bukan oleh pihak-pihak di luar Poco Leok. "Kami juga mendesak Pemkab Manggarai untuk mencabut Keputusan Bupati yang mentapkan lokasi di ruang hidup warga menjadi area perluasan PLTP Ulumbu. Bagaimanapun pembangunan mega proyek seperti PLTP ini harus mendapat persetujuan bebas dari warga di mana proyek itu dikembangkan. Karena resiko pembangunan akan ditanggung oleh warga Pocoleok di mana proyek itu dibangun bukan warga yang tinggal diluar Pocoleok." kata Pater Simon selaku korordinator JPIC SVD Ruteng dalam rilis yang diterima media ini. Dalam pernyataan akhirnya, JPIC SVD Ruteng juga meminta PT PLN untuk menghentikan penggunaan aparat keamanan dalam proyek ini, terutama yang cenderung represif dan intimidatif. Mereka menyoroti bahwa proyek PLTP Ulumbu saat ini sedang dievaluasi oleh pihak Bank KfW, lembaga yang menjadi salah satu sumber pendanaan utama proyek ini. Jika kekerasan terhadap warga terus berlanjut, hal ini dapat mempengaruhi keputusan pendanaan proyek tersebut.(mjp)