MediaGendang Sumba.Com

Seringkali orang berbicara atau mendengar kata “politik”. Sayang, kata ini selalu dianggap negatif karena politik terlalu sering diwarnai dengan kelicikan, kekejaman, dan kecurangan. Politik seolah-olah sesuatu yang buruk dan perlu dihindarkan. Ini mencederai “politik” itu sendiri yang sejatinya adalah mencari kebijakan dalam kehidupan.

Politik dikambinghitamkan dan menjadi momok masyarakat.

Politik menjadi pelaku dari kebiadaban yang harus dihindari dan dijauhkan dari masyarakat sehingga “golput” dalam Pemilu atau masuk dalam dunia politik seolah seperti masuk ke dalam lingkaran iblis.

Keadaan seperti itu menimbulkan pertanyaan: Apa benar politik itu demikian?

Mengapa politik bisa demikian? Sebenarnya, politik menjadi garang semacam ini karena pelaku di dunia politik melupakan jatidiri politik.

Dunia politik sering diwarnai keinginan pribadi dibandingkan menjadi “pembawa suara kebenaran”. Ini sangat jelas ketika pelaku politik dalam membuat kebijakan, sering tidak memihak pada yang benar

Politik menjadi miskin, bahkan kehilangan maknanya di tengah masyarakat dengan mengemis keuntungan pribadi, daripada memberikan cinta kepada masyarakat

Politik menjadi busuk karena kepala lebih besar daripada hati.

Bagaimana seharusnya politik? Politik semestinya pertama-tama selalu mengedepankan kebaikan bersama bukan kebaikan individual.

Ini secara jelas dari etimologinya dalam bahasa Yunani Πολιτικά atau polis. Artinya, politik pada dasarnya bukan berkaitan dengan rebutan kekuasaan tetapi bagaimana masyarakat dapat tertata dengan baik

Politik bukan berbicara “aku menang” atau “aku kalah” tetapi bagaimana masyarakat dapat memperoleh suatu kehidupan yang baik dengan kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah karena “pribadi manusia merupakan dasar dan tujuan tatanan dan kehidupan politik” (Kompendium ASG, 384).

Pemahaman politik yang benar memang sangat diharapkan tetapi roh dalam politik sebenarnya berangkat dari “hati”. Namun, ini bukan sekadar hati. Hati untuk politik dihidupi dengan “nurani” karena “otoritas harus dipandu hukum moral” (Kompendium ASG, 396). Politik sejati adalah politik hati nurani yang mengarahkan pelaku dalam dunia politik selalu mengedepankan kebenaran.

Hati nuranilah yang seharusnya menjadi otoritas utama karena dia menjadi suara yang selalu bergaung dan memberontak ketika ada suatu situasi atau keadaan yang tidak baik dan benar. Politik selalu membutuhkan hati nurani dan tunduk padanya karena dia hendak membuat kebijakan-kebijakan yang bertujuan untuk bonum commune.

Perwujudan politik hati nurani untuk mewujudkan bonum commune ini akan terlaksana, salah satunya yaitu dalam perhelataan Pemilu. Pemilu sejati bukanlah menjadi tempat rebutan kekuasaan atau pertaruhan untuk unjuk gigi partai atau calon-calon yang akan tampil menjadi wakil rakyat, baik di parlemen maupun di eksekutif. Pemilu sejati merupakan pemilu yang dihidupi dengan politik hati nurani ini .

Artinya semua yang ikut, baik calon yang dipilih dan pemilih selalu mengutamakan dan memakai hati nurani sebagai rujukan utama bagaimana dia menentukan masa depan sebuah bangsa.

Alhasil, Pemilu bukan tempat adu kehebatan tetapi peristiwa komunikasi hati nurani untuk mewujudkan bonum commune. Maka, pemilih dan calon yang dipilih selalu mengupayakan kebenaran sebagai yang utama daripada egoisme, janji-janji palsu, atau rasa sungkan, dsb.

Pemilu setidaknya bagi masyarakat menjadi suatu ajang pemurnian hati nurani untuk membangun kehidupan masyarakat lebih baik daripada sebagai ajang penodaan hati nurani yang hanya memikirkan keuntungan individual belaka karena “politik adalah komitmen bagi kemanusian dan kesuciaan” Tibo redaksi MediaGendang Sumba.Com).