*Sumber Inspirasi:*
¤ Yesaya 50:4-7
¤ Filipi 2:6-11
¤ Lukas 22:14-23:56
*RAJA DAMAI MASUK KE YERUSALEM*
PADA HARI raya Yesus masuk ke Yerusalem, umat beriman didorong untuk memikirkan peran Kristus sebagai Raja Damai. Dengan Minggu Palma ini, kita memasuki babak akhir perjalanan rohani selama 40 hari. Dalam liturgi Minggu Palma berkumandang nada-nada kemenangan, sekaligus sengsara Tuhan yang nantinya akan mewarnai seluruh pekan suci. Pembasuhan kaki para murid pada hari Kamis, serta penghormatan salib secara istimewa pada hari Jumat Agung. Pada malam Paskah, cahaya menjadi simbol yang amat kuat ketika lilin Paskah bernyala.
Pada Minggu Palma, khalayak mengeluk-elukkan Yesus sebagai Raja ketika masuk ke Yerusalem. Tangan mereka mengacung-acungkan daun palma, mulut mereka menyerukan *”Hosana Raja Daud.”* Pakaian mereka tanggalkan dan dijadikan alas keledai tunggangan Yesus, langkah mereka seiring mengiring Yesus Sang Raja.
Sebagai Raja yang sedang berjalan menuju tahta kebesaran-Nya, Yesus ternyata tidak membawa angkatan bersenjata. Ia tidak dikawal prajurit terlatih dan naik kereta perang. Ia malah naik seekor keledai, binatang kecil yang sering dianggap dungu. Karena kecil, binatang ini juga tidak menyimbolkan kekerasan. Keledai sahabat manusia dan mintra kerja, ceria dan bertenaga. Karena itu, duduk di atas keledai lebih menyimbolkan damai daripada peperangan.
Peristiwa Yesus memasuki Yerusalem, disambut dengan pekik kegembiraan yang kemudian berubah total sebagai renungan khitmat mengenai Kisah Sengsara Tuhan Yesus. Khalayak mengelu-elukan Yesus sebagai pesakitan. Tangan mereka mengepalkan tinju dan mengacungkan pedang dan cemeti. Mulut mereka menyerukan hujatan, *”Salibkan Dia, salibkan Dia.”* Pakaian Yesus pun mereka lucuti dan bagi-bagi, langkah mereka kompak menolak Yesus Sang Raja.
Madah hamba Yahwe yang kita dengar dari Kitab Nabi Yesaya pada hari Minggu Palma ini menggambarkan bagaimana hamba Yahwe itu taat sepenuhnya kepada kehendak Allah. Bagi Sang Hamba, satu-satunya cara menghadapi penghinaan dan tantangan hanyalah berseru kepada Tuhan, yang satu-satunya adalah harapan hanya Tuhan. *”Sebab itu aku meneguhkan hatiku seperti keteguhan gunung batu karena aku tahu, bahwa aku tidak akan mendapat malu.” (Yes 50:7b). Maka, perjalanan Yesus dapatlah dikatakan: _”Se vis pacem para caritatem.”_ Jika Anda ingin damai siapkanlah kebaikan. Sebagai Raja Damai, Yesus tidak menyiapkan kekuatan, melainkan PELAYANAN CINTA KASIH.*
*Happy PALM SUNDAY*
*@Dami Tiala*
Umat Lingk. Ratu Kenyo
*Ev. Gereja Paroki Santo Petrus & Paulus BABADAN Wedomartani, Sleman – DIY.*
[13/4, 12.45] Dami Tiala: *MENGOSONGKAN DIRI*
“Pada tanggal dua puluh tiga, bulan kedua tahun seratus tujuh puluh satu maka Simon memasuki puri itu dengan kidung dan DAUN PALEM, diiringi kecapi dan dandi, sambil menyanyikan madah gita.” (1 Mak 13:51).
Penggunaan daun palma dan seruan Hossana dalam prosesi diduga dimulai oleh Simon Makabe ketika dia menyucikan Bait Allah pada tanggal 14 Desember 164 SM. Prosesi ini dibuat karena Bait Allah telah dinodai oleh Antiokhus IV Epifanes pada hari yang sama di tahun 167 SM. Pada masa ini, oleh orang Israel, perayaan semacam ini disebut Pesta Hanukh.
Masuknya Yesus ke Yerusalem dengan semarak meriah seperti ini, dengan seruan Hosanna, yang berarti “Selamatkanlah Kami”, bisa ditafsirkan oleh penguasa Romawi saat ini sebagai protes terbuka atas kekuasaan mereka. Dengan menunggang keledai, seperti seorang raja sebagaimana diramalkan oleh nabi Zakharia, bisa diartikan pula oleh mereka sebagai tanda revolusi dan pemberontakan, walaupun keledai adalah simbol perdamaian.
Situasi ini membuat para tokoh agama dan ahli kitab dipimpin oleh Imam Agung Kayafas mengambil tindakan cepat. Mereka mengirim pasukan untuk menangkap Yesus di Taman Getzemani. Di satu sisi mereka kuatir penguasa Romawi akan bertindak keras kepada mereka tetapi di sisi lain mereka jadi punya alasan untuk membawa Yesus di hadapan Pilatus dan meminta hukuman dengan cara Romawi: menyalibkan Yesus.
Tradisi perarakan ini diambil-alih oleh Uskup Yerusalem pada abad keempat dengan prosesi dari Bukit Zaitun menuju Gereja Kenaikan Yesus.
Bagi orang Kristen saat ini, minggu keenam masa Prapaskah ini dikenal juga sebagai Minggu Palma atau Minggu Sengsara. Minggu ini merupakan pintu masuk ke Pekan Suci.
Perayaan ini merupakan kombinasi antara dua kontras hidup: kemuliaan dan penderitaan. Dari kemuliaan Anak Allah, Yesus turun ke level manusia melewati jalan penderitaan dan penghinaan.
Injil Lukas menggambarkan sengsara Yesus sebagai sengsaranya orang tak bersalah (innocent martyr). Hanya dalam Injil Lukas inilah Pilatus tiga kali menyebut Yesus tak bersalah. Bahkan Herodes pun menyebutnya demikian. Tapi Yesus tetap memilih jalan ini.
Dalam bahasa rasul Paulus, tindakan Yesus ini adalah bentuk “pengosongan diri” (Flp 2:7). Dia meninggalkan segala privilegi sebagai Anak Allah dan merendahkan diri mengambil rupa seorang hamba. Pengosongan diri ini adalah harga yang harus dibayar demi sebuah ketaatan pada rencana Allah untuk menyelamatkan manusia.
Kisah Yesus sesungguhnya adalah kisah hidup umat beriman juga. Sepanjang minggu ini yang direnungkan bukan saja penderitaan, kematian dan kebangkitan Yesus melainkan juga penderitaan, kematian dan kebangkitan kita dalam Yesus.
Hidup di dunia seringkali menjadi hidup yang penuh, bahkan sesak. Segala daya upaya kita bertujuan untuk “memenuhi” apa saja: kehendak, keinginan, selera, kerinduan, nafsu, cita-cita dan harapan.
Mengikuti jalan salib Yesus berarti “mengosongkan” diri. Ini adalah saat bermeditasi, melepaskan diri dari segala macam bentuk keterikatan dengan dunia. Kita membiarkan Allah mengisi hidup kita sesuai rencana dan kehendak-Nya.
Cara ini akan menjadi kontradiksi bagi cara hidup dunia. Akan tetapi hanya dengan cara ini kita bisa ditinggikan oleh Allah.
*****
Albert Schweitzer dari Jerman adalah seorang jenius pada masanya. Dia meraih Doktor Filsafat sekaligus Doktor Teologi. Dia juga seorang musisi hebat pada jamannya. Konsernya selalu dipenuhi penonton di Eropah. Hidupnya dipenuhi kemewahan dan kesuksesan.
Kemudian dia mengambil keputusan mengejutkan. Dia kuliah lagi kedokteran dan lulus menjadi dokter dalam waktu singkat. Setelah itu dia meninggalkan Eropah dan pergi ke pedalaman Afrika (Gabon), membuka klinik dan rumah sakit disana dan menolong orang-orang miskin. Akhirnya dia memperoleh hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 1952, karena pengabdiannya yang luar biasa dengan prinsip etika: Penghargaan Pada Kehidupan (“Ehrfurcht vor dem Leben.”).
Ada ungkapannya yang terkenal setiap kali dia berhasil menyembuhkan orang sakit: “Alasan mengapa engkau tidak lagi sakit adalah karena Tuhan Yesus memberitahu Dokter yang baik dan istrinya untuk datang ke tepi sungai Ogooue untuk menolongmu. Jika anda berutang terimakasih, maka berterimakasihlah kepada Tuhan Yesus”.
Dia benar-benar mengosongkan diri.
*SETETES EMBUN*
*by P. Kimy Ndelo CSsR; ditulis di Biara Santo Alfonsus-Konventu Redemptoris Weetebula, Sumba tanpa Wa.*